//Jejak Bumi IKN Sebuah Antologi Puisi Etnografi

Jejak Bumi IKN Sebuah Antologi Puisi Etnografi

Aristoteles pernah mengatakan, puisi adalah urusan yang lebih filosofis dan serius dibandingkan sejarah. Sebab, puisi tidak hanya mencatat dan menampilkan apa yang sedang dan sebenarnya terjadi, tetapi juga apa yang akan dan dapat terjadi. Demikian pun puisi-puisi karya para pejalan sunyi dalam Jejak Bumi IKN ini. Ia tak sekadar menjadi catatan sejarah, tetapi juga akan menjadi teropong diri di tengah pergulatan dan pengembaraan yang masih panjang. (Tirto Suwondo, peneliti sastra BRIN). Derap pembangunan IKN menggema jauh sampai ke haribaan kata-kata.  Hutan rimba Borneo yang masyhur mungkin segera raib, dicandra penyair lalu diabadikan dalam puisinya. Gesekan batang-batang flora, lolong purbawi fauna, hanya mungkin akan terdengar di dalam barisan sajak ini. Selebihnya ia akan raib dalam pandangan manusia, enyah oleh deru mesin dan kaki-kaki beton. Inilah sebuah ikhtiar secara kritis dan reflektif dari para penulis puisi untuk menyuarakan sisi lain dari Ibu Kota Nusantara, yang mungkin tidak pernah sampai kepada kita sebelumnya. Sebuah persembahan lain yang lahir dari penghayatan batin dari kerja penelitian. Suara-suara samar dari orang-orang Borneo akan terus beresonansi dalam waktu yang panjang pada puisi-puisi ini. (Syaifuddin Gani, peneleiti sastra BRIN). Sebagai pengguna perkakas etnografi, penggunaan anak judul “Sebuah Antologi Puisi Etnografi” cukup menghentak saya. Karena bagi saya etnografi bukanlah sekedar metode dalam Antropologi. Tetapi juga membicarakan soal keberpihakan dan empati. Riset-riset etnografi yang seringkali berbilang tahun tinggal di lapangan dan peneliti yang kerap datang berkali-kali dan mencari makna melalui pemahaman bahasa lokal, tinggal bersama subyek yang ditelitinya adalah untuk berempati. Berbagai perkakas untuk mengumpulkan makna, berupa “wawancara” kemudian menjadi dialog humanis. “Pengamatan” menjadi keterlibatan dalam keseharian. Para Antropolog masa kini kemudian mendefinisikan etnografi  menjadi tulisan tentang masyarakat dan budayanya berdasarkan cara pandang subyektif dari penulisnya pada waktu, tempat dan konteks tertentu. Oleh sebab itu buku ini harus dibaca sebagai upaya para penulis melihat fenomena yang terjadi secara estetis dan artistik dalam kurun waktu dan dalam kondisi khusus tertentu.  Perjumpaan subyektif para penulis puisi, pengalaman personal dan situasi yang terjadi di IKN adalah kekuatan buku ini. Buku ini menawarkan cara melihat IKN secara berbeda, sesuatu yang penting dalam wacana dunia akademik. Membaca puisi-puisi ini saya ingat kembali catatan harian bersama seorang rekan tentang seorang penari, perempuan adat dan aktivis dari suku Balik di Tanah Paser. Katanya….”saya ingin membentuk sekolah adat yang memiliki muatan bahasa lokal, kerajinan anyaman dan pembelajaran adat-istiadat orang Balik…”.  Tubuh kecilnya yang gemulai tidak diam, ia sedang melawan. Melawan dengan kekuatan budaya…mungkin ini juga maksud puisi-puisi dalam buku ini. (Herry Yogaswara, Antropolog, Pembelajar Masyarakat Adat).

DOWNLOAD

PRE-ORDER